Rabu, 30 Juli 2014

Jelang Lebaran, Ada Jurnalis Berubah Jadi Pemburu THR

courtesy : choluqbaya.blogspot.com

Beberapa hari jelang lebaran lalu saya menelpon seorang teman mantan jurnalis yang pindah pekerjaan menjadi PNS, dan kini menjabat sebagai Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) di kabupaten kami.

Setelah saling menanyakan keadaan dan kabar masing-masing, teman ini bercerita atau lebih tepatnya curhat ke saya.

Sudah jadi tugas dan fungsi Bidang Kehumasan di instansi atau lembaga manapun, dipastikan bersentuhan dan menangani para Wartawan atau Jurnalis.

Menurut teman saya ini, beberapa Pelaku Pers itu memintanya untuk menyediakan paket lebaran berikut ‘amplop’ sebagai bentuk THR.

Dikarenakan di instansinya tersebut tak ada anggaran untuk itu, tepatnya tak diperbolehkan, maka sudah pasti teman saya tak dapat memenuhi permintaan beberapa Jurnalis itu.

Menurut teman saya, mereka itu aneh, bersikap pura-pura tidak tahu dan tidak mengerti, atau malah tidak mau tahu. Untuk urusan paket lebaran dan uang THR, sama sekali bukan menjadi kewajiban Pemerintah mengeluarkannya untuk para Jurnalis. Mereka seharusnya memintanya ke masing-masing perusahaan media dimana mereka berkerja.

Karena permintaan mereka tak dapat dipenuhi oleh teman saya itu, beberapa Jurnalis pun bahkan menyuruh teman saya agar mengundurkan diri saja sebagai Kepala Bagian Humas.

Memang beberapa kenalan Jurnalis yang bertugas di Kabupaten kami beberapa hari jelang lebaran, kasak kusuk mencari para Pejabat dan Pengusaha, tujuannya satu; minta THR. Dan biasanya usai lebaran mereka para ‘pemburu THR’ ini saling bercerita diantara mereka terkait perolehan selama perburuan; Pejabat Anu memberi sekian, Pejabat A sekian, Pengusaha B sekian, dan seterusnya, yang tentunya diantara pemberi itu tak ada yang sama jumlahnya, tergantung kepada siapa diberikan.

Ini terjadi di Kabupaten kami, dan tampaknya sudah semacam tradisi, tak tahu jika yang seperti ini juga terjadi di daerah lainnya. Jika kondisinya tak berbeda, maka ini menjadi beban tersendiri bagi Pejabat dan Pengusaha.

Muslim vs Yahudi, Kita Kehilangan Akal Sehat ?

courtesy : memegenerator.net
Beberapa hari lalu saya searching di dunia maya, menemukan foto yang sangat menarik, setidaknya menarik bagi saya karena kalimat yang tercantum di foto tersebut. Apalagi kalimat di foto itu ada hubungannya dengan undangan yang kuterima dari beberapa komunitas anak muda di kabupaten dimana aku bertempat tinggal. Para anak muda itu mengundangku untuk meliput kegiatan mereka; penggalangan dana bagi rakyat Palestina yang jadi korban serangan tentara Israel di Gaza.

Dalam beberapa pekan ini kita tahu pemberitaan banyak media adalah mengenai rakyat Palestina. Solidaritas bermunculan dimana-mana, dari yang alasan kesamaan agama/keyakinan antara mayoritas rakyat Indonesia, hingga alasan yang netral; kemanusiaan karena sesama manusia dan makhluk ciptaan Tuhan.

Kita semua prihatin terhadap apa yang sedang terjadi di Gaza saat ini. Rakyat Palestina jadi sasaran kemarahan Israel terhadap Hamas. Korban berjatuhan tak saja di pihak yang diserang, tapi juga dari yang menyerang. Lebih miris lagi kebanyakan yang jadi korban adalah para anak-anak. Ini tentu tak bisa kita tolerir. Sebagai bangsa yang beradab, sebagai manusia yang mendambakan kedamaian, jangankan pembantaian terhadap manusia, terhadap hewan ataupun binatang saja pasti tak dapat kita tolerir.

Kembali kalimat di foto itu menggelitik benak saya, “170,000 Muslims killed by Muslims in Syria, no one gives a shit. 100 Muslims killed by Jews, everyone loses their mind.”

Jika kalimat tersebut benar adanya, berarti sama saja antara sesama Muslim itu halal darahnya untuk saling membunuh. Sesama Muslim sangat rapuh apa yang dinamakan persaudaraan dalam tali silaturahim. Atau sesama Muslim suka saling bantai, tapi benci jika pihak lain yang melakukannya ?

Informasi yang beredar di berbagai wahana media bisa saja menipu kita. Pemberitaan yang membentuk opini sangat mungkin dilancarkan secara masif oleh media tertentu untuk membuat citra buruk pihak yang tidak disukai. Apalagi mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam dimana otak kita sudah dicuci dan ditanamkan untuk membenci hal yang berbau; Israel, Yahudi, Zionist, Freemasonry, Iluminati, dan sejenisnya. Kebiasaan dari kita adalah cenderung menyamaratakan sesuatu tanpa berkeinginan mengais hal yang sedikit atau kecil diantaranya.

Saya berkeyakinan tidak setiap rakyat Israel setuju dan suka terhadap tindakan Pemerintah Israel yang menyerang rakyat Palestina. Tak setiap orangtua di Israel yang anaknya menjadi tentara bangga telah membantai rakyat Palestina, karena tak menutup kemungkinan diantara tentara Israel yang bertempur itu terdapat yang beragama Nasrani bahkan Islam selain tentunya mayoritas yang beragama Yahudi.
Jika kalimat di foto tersebut benar, maka setiap orang telah kehilangan akal sehatnya; membandingkan ratusan ribu dengan seribu, membenci Yahudi tapi melegalkan darah sesama umat Islam saling bantai.


Zakat; Orang Kaya Yang Riya dan Mualaf

courtesy : tribunnnews

Lebaran Idul Fitri tahun merupakan lebaran ketiga bagi istriku yang Mualaf. Dan inipun yang ketiga kalinya istriku tak menerima Zakat yang menjadi haknya, karena sesuai syariat Mualaf merupakan satu dari delapan golongan yang berhak menerima Zakat dari para pembayar Zakat.

Aku sebenarnya tak mempermasalahkan apakah istriku dapat pemberian Zakat ataupun tidak. Karena aku merasa masih sanggup menafkahi istriku. Justru aku lah yang mengeluarkan Zakat Fitrah untuk istriku yang Mualaf tersebut, sebab ia menjadi tanggung jawabku.

Hanya saja aku sangat menyesalkan orang-orang yang berkepentingan dalam mengumpulkan dan kemudian membagikan Zakat; tidak jeli dalam melaksanakan tugasnya. Mereka, para Amil tampaknya cuma terfokus pada 2 golongan penerima Zakat; yakni Fakir dan Miskin, dengan mengabaikan golongan lainnya; Mualaf, Fisabilillah, Gharim, Ibnu Sabil, dan Budak (yang terakhir bisa saja dihapus dari penerima Zakat).

Dalam hal Zakat ini selain beberapa golongan penerima Zakat terlewatkan atau lebih tepatnya terlupakan, tampaknya masih banyak orang kaya yang wajib bayar Zakat namun enggan menyerahkannya ke para pengumpul Zakat (Amilin).

Para orang kaya dari kalangan Islam kebanyakan masih suka mengeluarkan Zakat dengan cara ‘riya’, mengundang khalayak ramai untuk nengunjungi rumah kediaman mereka. Para orang kaya itu tampaknya senang menikmati pemandangan para khalayak antri berdesakan layaknya kerumunan para pengemis, mengharapkan bisa mendapatkan Zakat.

Beberapa hari menjelang lebaran, di kota kami ramai warga berbondong mendatangi rumah kediaman seorang pengusaha kaya yang ingin berbagi Zakat. Yang datang kesana ingin mendapatkan pemberian Zakat dari pengusaha itu, tidak saja warga miskin, tapi juga warga yang tergolong mampu.

Karena banyaknya warga yang berdesakan, kabar yang kudapat dari para warga yang kesana adalah; jatuh beberapa korban akibat berdesakan untuk memperoleh selembar 50 ribuan, tragis.

Sudah banyak contoh kejadian dimana jatuh korban akibat berdesakan ingin memperoleh Zakat, tak dijadikan contoh pengalaman bagi para orang kaya yang ‘riya’ itu.

Berselang beberapa hari kemudian, kembali di kota kami belasan ribu warga menyerbu ke tempat seorang pengusaha lokal yang sangat kaya. Kali ini warga yang datang kesana tergiur oleh pembagian Sembako disertai dengan uang.

Lalulintas pun menjadi macet ke arah yang menuju pembagian Sembako dan uang itu.

Kabar yang kudapat dari warga yang sempat kesana adalah; tak sedikit warga yang pingsan disebabkan saling berdesakan.

Sungguh sangat disayangkan masih tetap ada para orang kaya yang seperti itu. Kenapa mereka tak menyerahkannya langsung kepada yang berhak jika niatnya mengeluarkan Zakat ? Atau jika tak ingin direpotkan, bisa menyerahkannya ke Amil, atau ke BAZIS (?)


KPAI, Wilker Cuma di Jabodetabek?


Pagi ini saya menonton berita telepisi, baru mengetahui ternyata Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memiliki wilayah kerja hanya di Jabodetabek; Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Terlalu sekali ! Apa mereka pikir cuma anak di 5 wilayah itu saja yang membutuhkan perlindungan ?
Pakai nama KPAI pula. Mestinya bila sudah menggunakan nama “Indonesia”, berarti secara nasional dengan ruang lingkup dan wilayah kerja di seluruh negeri.


Menurut pemberitaan pihak KPAI akan mengajukan presisi Undang Undang agar cakupan wilayah kerja lebih luas. Hal tersebuf menyusul terkuak dan meningkatnya tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Diperkiran terdapat 1.000 lebih kasus kekerasan terhadap anak, ini yang diketahui. Sementara itu korban kekerasan seksual oleh Pelaku AS alias Emon terus bertambah, kini mencapai angka 118 anak.

Menyimak pemberitaan media akhir-akhir ini terkait tindak kekerasan dan seksual terhadap anak, miris dan memperihatinkan. Tindak kekerasan terhadap anak kiranya tak cuma dilakukan oleh orang dewasa, tapi juga terdapat yang dilakukan oleh sesama anak. Gejala apa ini ? Apakah ada kaitannya dengan tayangan media massa secara audio visual yang kurang dan tidak mendidik ?
Mungkin ada korelasi antara keduanya. Maka pihak KPAI jangan dibiarkan berkerja sendirian, ia mesti bergandeng tangan pula dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki perpanjangan hingga ke daerah. Tapi sebelum itu KPAI sendiri mesti menjadi nasional dulu.



Pengadilan Agama; Mahkamah Gugat Cerai


Kenyataannya selain mengurusi hal-hal yang terkait permasalahan pernikahan umat Islam; gugatan cerai, hal lainnya tak terdengar dilakukan oleh Pengadilan Agama. Setiap hari Pengadilan Agama ini cuma mengurusi 2 manusia berlainan jenis yang ingin berpisah atau bercerai setelah sebelumnya berjanji akan selalu bersatu baik dalam suka maupun duka.

Mestinya Pengadilan tersebut bernama Pengadilan Agama Islam. Ini untuk membedakannya dari Pengadilan agama lain, itu pun jika ada. Jika tidak ada Pengadilan Agama lainnya, itu artinya Negara sudah tak berlaku adil atau tak berperikeadilan. Negara mengakui keberadaan beberapa agama, tapi tak memperlakukan secara adil dalam segala hal. Yang namanya aturan atau hukum (Islam; syariat), bukankah agama lain juga punya; yang mengatur segala hal terkait kepentingan para pemeluknya (?)

Lagi pula jika keberadaan Pengadilan Agama (Islam) cuma untuk mengurusi masalah gugatan cerai, sebaiknya dibubarkan saja. Pengadilan tersebut digabung saja dengan Pengadilan Negeri, dibentuk seksi atau bagian yang menangani permasalahan yang terkait dengan hal perceraian. Yang menangani permasalahan tersebut sudah jelas, yakni para ahli atau pakar hukum Islam baik selaku Eksekutor (Jaksa Penuntut) maupun para Hakim (Juri).

Dengan menyatukan penangan permasalahan hukum pada satu wadah lembaga, maka akan banyak menghemat keuangan negara, terutama tak ada anggaran untuk pengadaan berbagai fasilitas untuk Pengadilan Agama, negara cuma membayar gaji berikut tunjangan para Eksekutor dan Hakim agama. Anggaran yang sangat besar untuk berbagai fasilitas Pengadilan Agama tersebut bisa digunakan untuk membangun fasilitas umum yang sangat diperlukan rakyat; sekolah dan rumah sakit.

Keberadaan Pengadilan Agama yang cuma mengurusi permasalahan gugat cerai, belum bisa untuk disebut Pengadilan, tapi lebih tepat disebut Mahkamah Gugat Cerai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Mahkamah memiliki pengertian; badan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran.

Lagi pula jika merujuk pada kata Pengadilan, mestilah suatu perkara diputuskan secara adil yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan puas tak perlu naik banding apalagi menggugat balik.


Tit, Tit, Tit, Pulsa Listrik Tak Bisa Kirim

courtesy : tridinamika.com

Sudah 3 hari ini banyak rumah di wilayah Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu yang menggunakan aliran listrik dengan pulsa (pasca bayar), tak bisa mengisi.
Semua konter penjualan pulsa untuk tenaga listrik, tak bisa mengirim pulsa kepada para pembeli. Padahal warga yang bermaksud membeli pulsa semuanya dikarenakan peralatan meteran pencatat sudah mengeluarkan bunyi peringatan pulsa tenaga listrik akan segera habis.

Tak sedikit warga yang sudah kehabisan pulsa dan listrik di rumah mereka padam, menggunakan mesin generator pembangkit listrik (genset) baik untuk penerangan di malam hari maupun untuk keperluan peralatan elektronik. Bagi mereka yang tidak memiliki mesin genset, menggunakan lampu darurat (emergency lamp) yang ikut menyeterum kepada tetangga yang menggunakan listrik prabayar. Selebihnya lagi banyak warga yang menggunakan lilin untuk penerangan.

Permasalahan bagi warga yang menggunakan listrik pasca bayar tersebut, tak berhenti pada masalah penerangan saja. Tapi mereka juga tak bisa menggunakan peralatan elektronik yang vital dibutuhkan setiap saat; televisi, rice cooker (penanak nasi), seterika, mesin cuci, pemanas air (dispencer), kipas angin, AC, dan lainnya.

Memurut para pemilik konter, terjadi gangguan jaringan komunikasi terhadap jalur pengiriman pulsa listrik pasca bayar. Petugas PLN pun memberikan keterangan yang sama; terjadi gangguan jaringan secara nasional.

Rumah warga pengguna listrik pasca bayar yang saling berdekatan menjadi ramai oleh bunyi peringatan pencatat listrik yang saling bersahutan.


Salah Satu, Salah Seorang, Salah Semua

courtesy : ivanlanin.wordpress.com

Penggunaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar semakin hari kian memperihatinkan, bahasa tulisan maupun bahasa lisan apalagi.
Kerusakan dalam penggunaan Bahasa Indonesia makin diperparah oleh diselipkannya maupun dicampur adukkannya dengan kata-kata dari Bahasa Daerah (Bahasa Etnis).

Contoh aktual adalah; aku ra popo. Kata-kata ini jelas sekali bukan berasal dari Bahasa Indonesia. Boleh saja jika ingin menggunakan, tapi jangan mencampurnya dengan Bahasa Indonesia, gunakan saja secara lengkap dan utuh dengan keseluruhannya dalam bahasa etnis tersebut.
Kita tentu tak menghendaki jika tiap etnis yang ada di Nusantara ini bersikeras menggunakan Bahasa Indonesia dengan juga mencampur adukkannya dengan bahasa etnis masing-masing, apakah nantinya lawan bicara mengerti atau tidak mereka tak perduli.


Kesalahan dalam penggunaan Bahasa Indonesia agaknya sudah sejak lama terjadi dan dibiarkan tanpa ada upaya untuk memperbaikinya.
Terdapat beberapa contoh penggunaan kata yang sangat jelas salah, namun entah disadari atau tidak, tetap saja tak diperbaiki.


Kata salah, sudah sangat jelas lawan kata dari benar, betul.
Jika kata tersebut digunakan untuk menyatakan sesuatu yang tidak berkonotasi salah atau melakukan kesalahan, maka jelas salah.
Contoh; Pada peristiwa kebakaran tadi malam, salah satu rumah warga hangus terbakar.
Rumah yang dinyatakan hangus terbakar pada contoh kalimat di atas, tentu tidak salah atau melakukan kesalahan. Mestinya contoh kalimat tersebut berbunyi begini;Pada peristiwa kebakaran tadi malam, satu rumah warga hangus terbakar.


Contoh lainnya adalah; Salah seorang dari beberapa atlit yang dikirim ke luar negeri mempersembahkan medali emas.
Atlit yang dinyatakan mendapat medali tersebut jelas tidak salah, yang salah adalah bunyi kalimatnya; salah seorang……


Jika pun kata salah diganti dengan kata benar, sehingga berbunyi; Benar seorang dari beberapa atlit yang dikirim ke luar negeri mempersembahkan medali emas, terasa janggal.

Yang juga dirasa janggal dan mengganggu dalam penggunaan Bahasa Indonesia adalah; kata untuk menyatakan bentuk satuan (unit). Contohnya; untuk menyatakan satu rumah, kebiasaan dinyatakan dengan bentuk satuan buah. Padahal kita semua tahu rumah itu bukan sejenis buah yang dihasilkan oleh pohon manapun.
Ini contoh kalimat yang selama ini salah; Sebuah rumah di jalan Manggis mengalami longsor oleh abrasi.
Contoh lainnya yang sama salahnya; sebuah mobil, sebuah kapal, sebuah meja, sebuah komputer, dan lainnya. Untunglah belum ada yang menerjemahkan kalimat-kalimat tersebut kedalam Bahasa Inggris menjadi; In the event of a fire last night,wrong one of the houses’re burned. Atau a fruit of car, a fruit of ship, a fruit of table, a fruit of computer, dan lainnya.


Bahasa Indonesia dengan sifatnya yang fleksibel, sangat mudah dirusak. Yang merusak juga bukan orang atau bangsa lain, tapi kita sendiri yang mengaku berbahasa satu Bahasa Indonesia.