Minggu, 18 Mei 2014

Pemilu di Era Orde Baru Masih Lebih Baik

Pemilu sudah usai dan berlalu, meski para petugas pelaksana pemungutan suara masih sibuk berkerja melakukan tugasnya hingga seluruh surat suara terkumpul dan terdata. Namun beberapa hari ini celoteh tetangga, teman, kenalan, serta warga masih juga terdengar tentang pemberian duit dari para cara Caleg. Mereka bercerita berapa jumlah yang diperoleh dari para Caleg, pun tak ketinggalan yang bercerita tak dapat apa-apa karena dibohongi sang Caleg. Ada pemilih senang karena berhasil mengambil kesempatan untuk mendapatkan uang dari beberapa Caleg, terdapat pula yang kecewa karena dapat sedikit dan dibohongi. Politik duit atau money politic ? Sudah pasti tak bisa dipungkiri dengan pura-pura tidak tahu.
Kesuksesan beberapa kali pelaksanaan Pemilu di era reformasi ini, tak pelak lagi merupakan kemenangan money politic yang high cost. Disamping sangat banyak menghamburkan duit rakyat untuk penyelenggaraan Pemilu, juga menghamburkan duit para Caleg itu sendiri.
Pemilu yang model begini tak ditemui kala rejim Orde Baru berkuasa. Tak ada orang Parpol yang bagi-bagi sembako dan duit, yang ada Golkar kala itu menebar selebaran melalui pesawat terbang hingga ke pelosok, begitupun Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia. Orang dari Parpol paling-paling membagikan kaos kepada warga, itupun yang paling banyak dipakai adalah kaos berwarna kuning berlogo pohon beringin.
foto : courtesy nefosnews
Era reformasi ini jauh mengalami kemunduran dalam pelaksanaan Pemilu dibanding era Orde Baru. Seseorang yang menjadi kader Parpol di era reformasi ini yang ingin maju sebagai Caleg mesti mengukur, menakar dan memperhitungkan isi koceknya. Merogoh kocek banyak dan dalam pun belum tentu menjamin si Caleg pasti terpilih, apalagi yang cuma bermodal pandai omong bertopangkan dengkul.
Seorang tetangga saya yang maju sebagai Caleg mesti merelakan rumahnya dilego sebesar Rp 400 juta buat modal belanja politik menuju kursi legislatif, dan hingga saat ini belum diketahui jumlah perolehan suaranya apakah lulus atau lolos, kasian.
Pemilih Cerdas
Yang saya maksud pemilih cerdas disini bukan pemilih yang menolak praktik money politic. Pemilih cerdas yang memilih berdasarkan pengetahuan rekam jejak (track record) Caleg serta sesuai hati nurani, bukan ini pula yang saya maksud, tapi pemilih cerdas yang dapat membedakan antara besar jumlah lembaran Rp 50 ribuan dengan lembaran Rp 100 ribuan yang ia terima dari Caleg. Semboyan ada uang ada suara terdengar bergema tanpa malu dari tak sedikit pemilih.
Kondisi perpolitikan yang seperti ini jika tetap tak bisa dihilangkan, maka hanya akan menghasilkan para Legislator yang buruk, dan berpeluang besar membodohi dan menipu rakyat.
Akan lebih baik waktu diputar mundur surut ke belakang, mempelajari kembali sistem Pemilu yang digunakan di era Orde Baru. Menggunakan atau memberlakukan sistem nomor urut di Parpol bagi Caleg-nya. Para pemilih tak lagi mencoblos nama Caleg tapi Parpol, yang mana Caleg yang duduk di legislatif adalah yang berada pada nomor teratas dari daftar Parpol-nya, kemudian diikuti yang di bawahnya dan seterusnya sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh Parpol. Sistem seperti ini setidaknya bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan praktik money politic dalam Pemilu.
Kita sah-sah saja membenci rejim Orde Baru, tapi tak ada salahnya mengambil sesuatu yang baik yang pernah dilakukan rejim tersebut, yakni sistem pemungutan suara pada Pemilu.


Mappanretasi, Pesta Etnis Bugis di Tanah Banjar

foto : courtesy pagatan.com


Hari ini tanggal 12 April 2014, seperti tahun-tahun sebelumnya kembali digelar Pesta Rakyat yang bertajuk mappatetasi. Pesta ini digelar setiap tahun pada bulan April, mengambil lokasi di Pantai Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu yang berada di bibir Laut Jawa, sekitar lebih dari 200 kilometer ke arah tenggara dari Banjarmasin ibukota Propinsi Kalimantan Selatan.

Pesta Rakyat yang lebih tepatnya digelar oleh para warga nelayan yang bermukim di tepi pantai tersebut, telah ada sejak puluhan tahun silam. Mappanretasi, inilah nama yang diusung oleh para nelayan penyelenggara pesta, kata dalam bahasa etnis Bugis yang secara harfiah berarti memberi makan laut. Memang warga yang bermukim di tepi pantai tersebut merupakan keturunan dari etnis Bugis yang berasal dari pulau tetangga Borneo/Kalimantan, yakni pulau Sulawesi/Celebes.

Keberadaan etnis Bugis di wilayah bagian tenggara pulau Borneo sudah sejak ratusan tahun lalu. Nenek moyang mereka pertama kali bermukim dan menetap disana atas seijin Kesultanan Banjar setelah ikut membantu memadamkan pemberontakan yang mengancam keutuhan Kerajaan Banjar.

Para keturunan etnis Bugis yang mendiami wilayah pesisir “Tanah Banjar” ini terus berkembang pesat disamping kedatangan para etnis Bugis yang merupakan kenalan maupun kerabat mereka.
Di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, etnis Bugis merupakan etnis yang berjumlah cukup besar disamping etnis Banjar yang merupakan pribumi perpaduan antara Melayu dan Dayak. Bahkan etnis Bugis termasuk yang dominan menguasai banyak bidang termasuk di pemerintahan, tentunya dengan tetap bersinergi dengan etnis Banjar.


Pesta Mappanretasi pada awalnya hanya dikenal di kalangan etnis Bugis, itupun cuma di sekitar wilayah dimana para nelayan bermukim. Entah kapan persisnya pesta tersebut keluar dari lingkungan etnis nelayan Bugis, yang jelas sekitar tahun 1984 pesta tersebut digelar cukup ramai, dan dikunjungi orang-orang dari barbagai daerah di luar Tanah Bumbu (kala itu masih bersatu dengan Kabupaten Kotabaru). Kemungkinan disamping untuk menikmati keindahan Pantai Pagatan dan ziarah ke makam seorang Ulama yang terdapat di sekitar pantai tersebut, juga menonton acara pesta nelayan itu.

Dengan nama pesta bertajuk “memberi makan laut” itu, pesta tersebut sempat dilarang oleh Pemerintah Orde Baru ketika Menteri Agama dijabat oleh Munawir Sadzali. Kementerian Agama RI menuding pesta nelayan itu sebagai terkait syirik, ini mengingat agama yang dianut oleh mayoritas para nelayan etnis Bugis itu adalah Islam.

Larangan terhadap pesta nelayan tersebut ternyata tidak final. Pihak Kementerian Agama memberi opsi dengan saran agar mengganti nama pesta berserta prosesi ritual yang disesuaikan dengan tuntunan Islam.
Untuk tidak sampai pesta terhambat dan terhenti, maka pihak Panitia pun mengganti tajuk Mappanretasi dengan Mappanre ri tasi e yang bermakna makan-makan di laut atau pesta laut.


Penggantian tajuk pesta itu ternyata cukup berdampak bagi pesta yang digelar. Para pengunjung yang datang ke pesta Mappanre ri tasi e tak sebanyak penyelenggaraan tahun sebelumnya.

Entah bagaimana akhirnya pesta para nelayan tersebut kembali menggunakan tajukMappanretasi, bahkan pesta tersebut justru dimasukkan ke dalam agenda tujuan pariwisata daerah Kalimantan Selatan, belakangan meningkat menjadi agenda tujuan pariwisata nasional.

Dikarenakan waktu penyelenggaraan yang cukup lama serta terkait pendanaan yang juga cukup besar, pelaksanaan pesta tersebut diambil alih oleh Pemkab melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Dengan demikian yang terlibat dalam penyelenggaraan pesta nelayan tersebut tak lagi cuma yang berasal dari etnis keturunan Bugis, tapi seluruh etnis yang berada di wilayah Tanah Bumbu.
Prosesi ritual pesta nelayan yang menjadi inti pelaksanaan seluruh rangkaian pesta, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas rejeki-Nya; digelar pada hari terakhir atau puncak pesta yang seluruh rangkaiannya menghabiskan waktu selama 15 hari.


Pelaksanaan pesta rakyat selama 15 hari itu diisi oleh berbagai pertunjukan budaya, seni, tausiyah agama, pameran pembangunan dan hasil kerajinan lokal. Seperti biasanya Panitia mengundang para Artis terkemuka, dan tahun ini direncanakan yang hadir antara lain beberapa Artis Penyanyi Dangdut jebolan KDI, Band Wali dan Band Kotak. Panitia pun sudah menjadwalkan kehadiran seorang Ustad terkenal untuk menyampaikan ceramah agama. Panitia pesta sudah mengawali pesta dengan menggelar touring trail dan offroad mobil.
Selamat datang di pesta Mappanretasi 2014dan jika panjang umur jangan lupa kembali tahun depan.



UN, Warning KPAI Terhadap Sekolah

UN (Ujian Nasional) kembali digelar di seluruh Indonesia. Seperti yang sudah-sudah, biasa saja, para murid atau siswa mempersiapkan diri dengan belajar, ikut les tambahan maupun bimbingan belajar, serta ada pula yang melakukan ritual keagamaan berdoa bersama memohon agar bisa lulus.

Ada yang berbeda terkait pelaksanaan UN kali ini, yakni datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisi ini memberi sinyal dan memperingatkan seluruh sekolah di Indonesia untuk tak melarang murid ataupun siswa ikut UN. Pihak KPAI tak mau menerima alasan apapun seperti murid/siswa belum melunasi uang SPP ataupun uang administratif lainnya sehingga tak diikutkan UN.

Menurut pihak KPAI, pelarangan untuk tak mengikut sertakan murid/siswa baik dilakukan oleh oknum guru secara perorangan ataupun bersama-sama, maupun secara sistematis oleh pihak sekolah, KPAI akan merekomendasikan oknum guru diberi sanksi atau diberhentikan. Sedangkan bila dilakukan oleh pihak sekolah, KPAI akan merekomendasikan agar ijin operasional sekolah yang bersangkutan dicabut.

foto : courtesy heni blog


Suatu pernyataan sikap yang baik dan perlu mendapat dukungan dari siapa saja yang peduli terhadap pendidikan dan masa depan anak serta generasi penerus bangsa ini. Pihak sekolah baik berstatus negeri maupun swasta sudah sepantasnya lebih berpihak kepada pendidikan dan masa depan para anak didiknya daripada cuma mempersoalkan masalah finansial operasional sekolah yang diakui memang sangat penting untuk kepentingan dan keberlangsungan proses belajar mengajar.

Kalaupun terdapat murid/siswa yang belum melunasi uang SPP ataupun uang administrasi lainnya, jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan murid/siswa di sekolah yang bersangkutan, dipastikan masih jauh lebih banyak murid/siswa yang sudah menyelesaikan kewajibannya.
Terutama untuk sekolah yang berstatus negeri atau plat merah, persoalan pembiayaan untuk operasional proses belajar mengajar tentu bukan masalah karena dibiayai dari anggaran pemerintah. Disamping itu tak sedikit daerah (Pemerintah Daerah) yang menggratiskan biaya sekolah kepada murid/siswa dari tingkat TK hingga SLTA/Sederajat.


Adapun sekolah yang berstatus swasta, terkecuali sekolah-sekolah favorit yang mungkin dapat diharapkan untuk mengindahkan seruan peringatan KPAI tersebut. Sedangkan sekolah swasta “papan bawah” yang biaya operasionalnya sangat tergantung dari kontribusi murid/siswa, terasa sulit, namun bukan berarti tidak bisa. Untuk mengantisipasi masalah ini diperlukan kepedulian Pemerintah Daerah dalam membantu menyokong finansial sekolah swasta tersebut agar tak menemui kesulitan mengikutsertakan seluruh murid/siswanya ke UN.

Harapan kita semua tentu pada UN kali tak ada terbetik berita memilukan dari murid/siswa yang tak bisa ikut UN karena tak bisa melunasi SPP dan dilarang sekolahnya untuk ikut UN.


Masih Perlukah Anggota DPD ?



Pemilu Legislatif 2014 telah usai. Pemilu kali ini menyisakan sebuah kisah tersendiri bagi banyak pemilih khususnya di daerahku yang termasuk satu bagian dari Propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).

Para pemilih di daerahku tak menemui kesulitan dalam memilih para Caleg baik untuk DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi maupun DPR RI. Namun kesulitan yang dialami sebagian besar pemilih adalah dalam memilih Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Apa hal kesulitan itu ?
Sebagian besar para pemilih mengaku tak mengenal sosok atau figur Calon Anggota DPD, padahal pada kertas suara terdapat foto atau gambar si Calon.

Dalam memilih para Caleg untuk semua tingkatan legislatif, para pemilih tak menemui kesulitan meski di kertas suara cuma terdapat nama Caleg berikut logo Parpol-nya. Ini dikarenakan para Caleg memang sudah cukup dikenal secara nama, panggilan maupun julukan, meski terdapat para pemilih yang baru mengenal melalui berbagai alat peraga kampanye dan kampanye secara terbuka.
Tak bisa dipungkiri banyak dari para pemilih yang tidak mencoblos anggota DPD, membuka kertas suara, memandangi foto para Calon Anggota DPD, lalu melipatnya kembali untuk dimasukkan ke dalam kotak suara.

Namun terdapat pula diantara para pemilih yang memang mengenal sosok Calon Anggota DPD, terutama incumbent yang kembali mencalon. Namun menganggap para incumbent tersebut tak berbuat sesuatu yang berguna bagi warga daerah, mereka tak memilihnya. Dan disebabkan kekecewaan terhadap para Anggota DPD terdahulu, serta tak mengenal pula sosok Calon yang baru, mereka pun sama tak memilih Calon Anggota DPD. Kalaupun ada pemilih yang mencoblos Calon Anggota DPD yang tak dikenalnya seorang pun, lebih kepada tak ingin nembiarkan hak suaranya disalahgunakan oleh oknum yang curang, dan pilihannya dipastikan ngawur.

Kenapa banyak yang tak mencoblos Calon Anggota DPD ?
Jawaban kebanyakan dari para pemilih di daerahku adalah; suara mereka sudah diwakilkan ke Caleg dari Parpol, lebih percaya kepada legislator daripada Anggota DPD (Senator), sosok atau figur yang tidak familiar bagi warga di seluruh wilayah propinsi; figur cuma dikenal di lingkungan dan daerah asalnya saja. Disamping itu para Calon Senator itu hanya mengandalkan alat peraga kampanye yang disebar oleh para simpatisan dan pendukungnya tanpa inisiatif apalagi terjun langsung ke tengah warga dan bertatap muka langsung dengan para pemilih.

Jika kondisi seperti ini yang menimpa para Calon Anggota DPD, perlu semacam revisi Undang Undang dimana para Calon Senator itu tak lagi dipilih langsung oleh warga, tapi ditunjuk saja oleh berbagai Organisasi Masyarakat yang independen berdasarkan masukan dari para tokoh di masyarakat.

Dan kepada para Anggota DPD, seyogiyanya hal ini jadi perhatian. Sebetulnya kiprah para Anggota DPD ini sangat penting karena berasal dari non Parpol yang tentunya dapat berbuat lebih banyak terhadap warga daerah tanpa memandang golongan.