Rabu, 30 Juli 2014

Jelang Lebaran, Ada Jurnalis Berubah Jadi Pemburu THR

courtesy : choluqbaya.blogspot.com

Beberapa hari jelang lebaran lalu saya menelpon seorang teman mantan jurnalis yang pindah pekerjaan menjadi PNS, dan kini menjabat sebagai Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) di kabupaten kami.

Setelah saling menanyakan keadaan dan kabar masing-masing, teman ini bercerita atau lebih tepatnya curhat ke saya.

Sudah jadi tugas dan fungsi Bidang Kehumasan di instansi atau lembaga manapun, dipastikan bersentuhan dan menangani para Wartawan atau Jurnalis.

Menurut teman saya ini, beberapa Pelaku Pers itu memintanya untuk menyediakan paket lebaran berikut ‘amplop’ sebagai bentuk THR.

Dikarenakan di instansinya tersebut tak ada anggaran untuk itu, tepatnya tak diperbolehkan, maka sudah pasti teman saya tak dapat memenuhi permintaan beberapa Jurnalis itu.

Menurut teman saya, mereka itu aneh, bersikap pura-pura tidak tahu dan tidak mengerti, atau malah tidak mau tahu. Untuk urusan paket lebaran dan uang THR, sama sekali bukan menjadi kewajiban Pemerintah mengeluarkannya untuk para Jurnalis. Mereka seharusnya memintanya ke masing-masing perusahaan media dimana mereka berkerja.

Karena permintaan mereka tak dapat dipenuhi oleh teman saya itu, beberapa Jurnalis pun bahkan menyuruh teman saya agar mengundurkan diri saja sebagai Kepala Bagian Humas.

Memang beberapa kenalan Jurnalis yang bertugas di Kabupaten kami beberapa hari jelang lebaran, kasak kusuk mencari para Pejabat dan Pengusaha, tujuannya satu; minta THR. Dan biasanya usai lebaran mereka para ‘pemburu THR’ ini saling bercerita diantara mereka terkait perolehan selama perburuan; Pejabat Anu memberi sekian, Pejabat A sekian, Pengusaha B sekian, dan seterusnya, yang tentunya diantara pemberi itu tak ada yang sama jumlahnya, tergantung kepada siapa diberikan.

Ini terjadi di Kabupaten kami, dan tampaknya sudah semacam tradisi, tak tahu jika yang seperti ini juga terjadi di daerah lainnya. Jika kondisinya tak berbeda, maka ini menjadi beban tersendiri bagi Pejabat dan Pengusaha.

Muslim vs Yahudi, Kita Kehilangan Akal Sehat ?

courtesy : memegenerator.net
Beberapa hari lalu saya searching di dunia maya, menemukan foto yang sangat menarik, setidaknya menarik bagi saya karena kalimat yang tercantum di foto tersebut. Apalagi kalimat di foto itu ada hubungannya dengan undangan yang kuterima dari beberapa komunitas anak muda di kabupaten dimana aku bertempat tinggal. Para anak muda itu mengundangku untuk meliput kegiatan mereka; penggalangan dana bagi rakyat Palestina yang jadi korban serangan tentara Israel di Gaza.

Dalam beberapa pekan ini kita tahu pemberitaan banyak media adalah mengenai rakyat Palestina. Solidaritas bermunculan dimana-mana, dari yang alasan kesamaan agama/keyakinan antara mayoritas rakyat Indonesia, hingga alasan yang netral; kemanusiaan karena sesama manusia dan makhluk ciptaan Tuhan.

Kita semua prihatin terhadap apa yang sedang terjadi di Gaza saat ini. Rakyat Palestina jadi sasaran kemarahan Israel terhadap Hamas. Korban berjatuhan tak saja di pihak yang diserang, tapi juga dari yang menyerang. Lebih miris lagi kebanyakan yang jadi korban adalah para anak-anak. Ini tentu tak bisa kita tolerir. Sebagai bangsa yang beradab, sebagai manusia yang mendambakan kedamaian, jangankan pembantaian terhadap manusia, terhadap hewan ataupun binatang saja pasti tak dapat kita tolerir.

Kembali kalimat di foto itu menggelitik benak saya, “170,000 Muslims killed by Muslims in Syria, no one gives a shit. 100 Muslims killed by Jews, everyone loses their mind.”

Jika kalimat tersebut benar adanya, berarti sama saja antara sesama Muslim itu halal darahnya untuk saling membunuh. Sesama Muslim sangat rapuh apa yang dinamakan persaudaraan dalam tali silaturahim. Atau sesama Muslim suka saling bantai, tapi benci jika pihak lain yang melakukannya ?

Informasi yang beredar di berbagai wahana media bisa saja menipu kita. Pemberitaan yang membentuk opini sangat mungkin dilancarkan secara masif oleh media tertentu untuk membuat citra buruk pihak yang tidak disukai. Apalagi mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam dimana otak kita sudah dicuci dan ditanamkan untuk membenci hal yang berbau; Israel, Yahudi, Zionist, Freemasonry, Iluminati, dan sejenisnya. Kebiasaan dari kita adalah cenderung menyamaratakan sesuatu tanpa berkeinginan mengais hal yang sedikit atau kecil diantaranya.

Saya berkeyakinan tidak setiap rakyat Israel setuju dan suka terhadap tindakan Pemerintah Israel yang menyerang rakyat Palestina. Tak setiap orangtua di Israel yang anaknya menjadi tentara bangga telah membantai rakyat Palestina, karena tak menutup kemungkinan diantara tentara Israel yang bertempur itu terdapat yang beragama Nasrani bahkan Islam selain tentunya mayoritas yang beragama Yahudi.
Jika kalimat di foto tersebut benar, maka setiap orang telah kehilangan akal sehatnya; membandingkan ratusan ribu dengan seribu, membenci Yahudi tapi melegalkan darah sesama umat Islam saling bantai.


Zakat; Orang Kaya Yang Riya dan Mualaf

courtesy : tribunnnews

Lebaran Idul Fitri tahun merupakan lebaran ketiga bagi istriku yang Mualaf. Dan inipun yang ketiga kalinya istriku tak menerima Zakat yang menjadi haknya, karena sesuai syariat Mualaf merupakan satu dari delapan golongan yang berhak menerima Zakat dari para pembayar Zakat.

Aku sebenarnya tak mempermasalahkan apakah istriku dapat pemberian Zakat ataupun tidak. Karena aku merasa masih sanggup menafkahi istriku. Justru aku lah yang mengeluarkan Zakat Fitrah untuk istriku yang Mualaf tersebut, sebab ia menjadi tanggung jawabku.

Hanya saja aku sangat menyesalkan orang-orang yang berkepentingan dalam mengumpulkan dan kemudian membagikan Zakat; tidak jeli dalam melaksanakan tugasnya. Mereka, para Amil tampaknya cuma terfokus pada 2 golongan penerima Zakat; yakni Fakir dan Miskin, dengan mengabaikan golongan lainnya; Mualaf, Fisabilillah, Gharim, Ibnu Sabil, dan Budak (yang terakhir bisa saja dihapus dari penerima Zakat).

Dalam hal Zakat ini selain beberapa golongan penerima Zakat terlewatkan atau lebih tepatnya terlupakan, tampaknya masih banyak orang kaya yang wajib bayar Zakat namun enggan menyerahkannya ke para pengumpul Zakat (Amilin).

Para orang kaya dari kalangan Islam kebanyakan masih suka mengeluarkan Zakat dengan cara ‘riya’, mengundang khalayak ramai untuk nengunjungi rumah kediaman mereka. Para orang kaya itu tampaknya senang menikmati pemandangan para khalayak antri berdesakan layaknya kerumunan para pengemis, mengharapkan bisa mendapatkan Zakat.

Beberapa hari menjelang lebaran, di kota kami ramai warga berbondong mendatangi rumah kediaman seorang pengusaha kaya yang ingin berbagi Zakat. Yang datang kesana ingin mendapatkan pemberian Zakat dari pengusaha itu, tidak saja warga miskin, tapi juga warga yang tergolong mampu.

Karena banyaknya warga yang berdesakan, kabar yang kudapat dari para warga yang kesana adalah; jatuh beberapa korban akibat berdesakan untuk memperoleh selembar 50 ribuan, tragis.

Sudah banyak contoh kejadian dimana jatuh korban akibat berdesakan ingin memperoleh Zakat, tak dijadikan contoh pengalaman bagi para orang kaya yang ‘riya’ itu.

Berselang beberapa hari kemudian, kembali di kota kami belasan ribu warga menyerbu ke tempat seorang pengusaha lokal yang sangat kaya. Kali ini warga yang datang kesana tergiur oleh pembagian Sembako disertai dengan uang.

Lalulintas pun menjadi macet ke arah yang menuju pembagian Sembako dan uang itu.

Kabar yang kudapat dari warga yang sempat kesana adalah; tak sedikit warga yang pingsan disebabkan saling berdesakan.

Sungguh sangat disayangkan masih tetap ada para orang kaya yang seperti itu. Kenapa mereka tak menyerahkannya langsung kepada yang berhak jika niatnya mengeluarkan Zakat ? Atau jika tak ingin direpotkan, bisa menyerahkannya ke Amil, atau ke BAZIS (?)


KPAI, Wilker Cuma di Jabodetabek?


Pagi ini saya menonton berita telepisi, baru mengetahui ternyata Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memiliki wilayah kerja hanya di Jabodetabek; Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Terlalu sekali ! Apa mereka pikir cuma anak di 5 wilayah itu saja yang membutuhkan perlindungan ?
Pakai nama KPAI pula. Mestinya bila sudah menggunakan nama “Indonesia”, berarti secara nasional dengan ruang lingkup dan wilayah kerja di seluruh negeri.


Menurut pemberitaan pihak KPAI akan mengajukan presisi Undang Undang agar cakupan wilayah kerja lebih luas. Hal tersebuf menyusul terkuak dan meningkatnya tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Diperkiran terdapat 1.000 lebih kasus kekerasan terhadap anak, ini yang diketahui. Sementara itu korban kekerasan seksual oleh Pelaku AS alias Emon terus bertambah, kini mencapai angka 118 anak.

Menyimak pemberitaan media akhir-akhir ini terkait tindak kekerasan dan seksual terhadap anak, miris dan memperihatinkan. Tindak kekerasan terhadap anak kiranya tak cuma dilakukan oleh orang dewasa, tapi juga terdapat yang dilakukan oleh sesama anak. Gejala apa ini ? Apakah ada kaitannya dengan tayangan media massa secara audio visual yang kurang dan tidak mendidik ?
Mungkin ada korelasi antara keduanya. Maka pihak KPAI jangan dibiarkan berkerja sendirian, ia mesti bergandeng tangan pula dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki perpanjangan hingga ke daerah. Tapi sebelum itu KPAI sendiri mesti menjadi nasional dulu.



Pengadilan Agama; Mahkamah Gugat Cerai


Kenyataannya selain mengurusi hal-hal yang terkait permasalahan pernikahan umat Islam; gugatan cerai, hal lainnya tak terdengar dilakukan oleh Pengadilan Agama. Setiap hari Pengadilan Agama ini cuma mengurusi 2 manusia berlainan jenis yang ingin berpisah atau bercerai setelah sebelumnya berjanji akan selalu bersatu baik dalam suka maupun duka.

Mestinya Pengadilan tersebut bernama Pengadilan Agama Islam. Ini untuk membedakannya dari Pengadilan agama lain, itu pun jika ada. Jika tidak ada Pengadilan Agama lainnya, itu artinya Negara sudah tak berlaku adil atau tak berperikeadilan. Negara mengakui keberadaan beberapa agama, tapi tak memperlakukan secara adil dalam segala hal. Yang namanya aturan atau hukum (Islam; syariat), bukankah agama lain juga punya; yang mengatur segala hal terkait kepentingan para pemeluknya (?)

Lagi pula jika keberadaan Pengadilan Agama (Islam) cuma untuk mengurusi masalah gugatan cerai, sebaiknya dibubarkan saja. Pengadilan tersebut digabung saja dengan Pengadilan Negeri, dibentuk seksi atau bagian yang menangani permasalahan yang terkait dengan hal perceraian. Yang menangani permasalahan tersebut sudah jelas, yakni para ahli atau pakar hukum Islam baik selaku Eksekutor (Jaksa Penuntut) maupun para Hakim (Juri).

Dengan menyatukan penangan permasalahan hukum pada satu wadah lembaga, maka akan banyak menghemat keuangan negara, terutama tak ada anggaran untuk pengadaan berbagai fasilitas untuk Pengadilan Agama, negara cuma membayar gaji berikut tunjangan para Eksekutor dan Hakim agama. Anggaran yang sangat besar untuk berbagai fasilitas Pengadilan Agama tersebut bisa digunakan untuk membangun fasilitas umum yang sangat diperlukan rakyat; sekolah dan rumah sakit.

Keberadaan Pengadilan Agama yang cuma mengurusi permasalahan gugat cerai, belum bisa untuk disebut Pengadilan, tapi lebih tepat disebut Mahkamah Gugat Cerai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Mahkamah memiliki pengertian; badan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran.

Lagi pula jika merujuk pada kata Pengadilan, mestilah suatu perkara diputuskan secara adil yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan puas tak perlu naik banding apalagi menggugat balik.


Tit, Tit, Tit, Pulsa Listrik Tak Bisa Kirim

courtesy : tridinamika.com

Sudah 3 hari ini banyak rumah di wilayah Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu yang menggunakan aliran listrik dengan pulsa (pasca bayar), tak bisa mengisi.
Semua konter penjualan pulsa untuk tenaga listrik, tak bisa mengirim pulsa kepada para pembeli. Padahal warga yang bermaksud membeli pulsa semuanya dikarenakan peralatan meteran pencatat sudah mengeluarkan bunyi peringatan pulsa tenaga listrik akan segera habis.

Tak sedikit warga yang sudah kehabisan pulsa dan listrik di rumah mereka padam, menggunakan mesin generator pembangkit listrik (genset) baik untuk penerangan di malam hari maupun untuk keperluan peralatan elektronik. Bagi mereka yang tidak memiliki mesin genset, menggunakan lampu darurat (emergency lamp) yang ikut menyeterum kepada tetangga yang menggunakan listrik prabayar. Selebihnya lagi banyak warga yang menggunakan lilin untuk penerangan.

Permasalahan bagi warga yang menggunakan listrik pasca bayar tersebut, tak berhenti pada masalah penerangan saja. Tapi mereka juga tak bisa menggunakan peralatan elektronik yang vital dibutuhkan setiap saat; televisi, rice cooker (penanak nasi), seterika, mesin cuci, pemanas air (dispencer), kipas angin, AC, dan lainnya.

Memurut para pemilik konter, terjadi gangguan jaringan komunikasi terhadap jalur pengiriman pulsa listrik pasca bayar. Petugas PLN pun memberikan keterangan yang sama; terjadi gangguan jaringan secara nasional.

Rumah warga pengguna listrik pasca bayar yang saling berdekatan menjadi ramai oleh bunyi peringatan pencatat listrik yang saling bersahutan.


Salah Satu, Salah Seorang, Salah Semua

courtesy : ivanlanin.wordpress.com

Penggunaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar semakin hari kian memperihatinkan, bahasa tulisan maupun bahasa lisan apalagi.
Kerusakan dalam penggunaan Bahasa Indonesia makin diperparah oleh diselipkannya maupun dicampur adukkannya dengan kata-kata dari Bahasa Daerah (Bahasa Etnis).

Contoh aktual adalah; aku ra popo. Kata-kata ini jelas sekali bukan berasal dari Bahasa Indonesia. Boleh saja jika ingin menggunakan, tapi jangan mencampurnya dengan Bahasa Indonesia, gunakan saja secara lengkap dan utuh dengan keseluruhannya dalam bahasa etnis tersebut.
Kita tentu tak menghendaki jika tiap etnis yang ada di Nusantara ini bersikeras menggunakan Bahasa Indonesia dengan juga mencampur adukkannya dengan bahasa etnis masing-masing, apakah nantinya lawan bicara mengerti atau tidak mereka tak perduli.


Kesalahan dalam penggunaan Bahasa Indonesia agaknya sudah sejak lama terjadi dan dibiarkan tanpa ada upaya untuk memperbaikinya.
Terdapat beberapa contoh penggunaan kata yang sangat jelas salah, namun entah disadari atau tidak, tetap saja tak diperbaiki.


Kata salah, sudah sangat jelas lawan kata dari benar, betul.
Jika kata tersebut digunakan untuk menyatakan sesuatu yang tidak berkonotasi salah atau melakukan kesalahan, maka jelas salah.
Contoh; Pada peristiwa kebakaran tadi malam, salah satu rumah warga hangus terbakar.
Rumah yang dinyatakan hangus terbakar pada contoh kalimat di atas, tentu tidak salah atau melakukan kesalahan. Mestinya contoh kalimat tersebut berbunyi begini;Pada peristiwa kebakaran tadi malam, satu rumah warga hangus terbakar.


Contoh lainnya adalah; Salah seorang dari beberapa atlit yang dikirim ke luar negeri mempersembahkan medali emas.
Atlit yang dinyatakan mendapat medali tersebut jelas tidak salah, yang salah adalah bunyi kalimatnya; salah seorang……


Jika pun kata salah diganti dengan kata benar, sehingga berbunyi; Benar seorang dari beberapa atlit yang dikirim ke luar negeri mempersembahkan medali emas, terasa janggal.

Yang juga dirasa janggal dan mengganggu dalam penggunaan Bahasa Indonesia adalah; kata untuk menyatakan bentuk satuan (unit). Contohnya; untuk menyatakan satu rumah, kebiasaan dinyatakan dengan bentuk satuan buah. Padahal kita semua tahu rumah itu bukan sejenis buah yang dihasilkan oleh pohon manapun.
Ini contoh kalimat yang selama ini salah; Sebuah rumah di jalan Manggis mengalami longsor oleh abrasi.
Contoh lainnya yang sama salahnya; sebuah mobil, sebuah kapal, sebuah meja, sebuah komputer, dan lainnya. Untunglah belum ada yang menerjemahkan kalimat-kalimat tersebut kedalam Bahasa Inggris menjadi; In the event of a fire last night,wrong one of the houses’re burned. Atau a fruit of car, a fruit of ship, a fruit of table, a fruit of computer, dan lainnya.


Bahasa Indonesia dengan sifatnya yang fleksibel, sangat mudah dirusak. Yang merusak juga bukan orang atau bangsa lain, tapi kita sendiri yang mengaku berbahasa satu Bahasa Indonesia.


Inilah Kriteria Capres dan Cawapres

courtesy : liputan6.com


Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) di negeri ini, sudah bermunculan berbagai informasi berikut rekam jejak (track record) para Capres dan Cawapres. Yang paling banyak bermunculan adalah rekam jejak buruk dari Capres maupun Bakal Capres. Tujuan kemunculan rekam jejak buruk tersebut sudah dapat dipastikan untuk menjatuhkan reputasi yang bersangkutan agar tak mendapat simpati dan dukungan rakyat untuk dipilih.

Sudah jadi sifat dan naluri alamiah manusia; sensitif terhadap yang berbau persaingan dan kompetisi, berbagai cara ditempuh untuk bisa menang dan unggul meski dengan cara-cara yang tidak elegan alias curang, termasuk menyebar informasi rekam jejak buruk seseorang.

Namanya juga rekam jejak, pastilah terkait dengan catatan masa lalu seseorang; baik maupun buruk.
Salah seorang Capres yang rekam jejaknya banyak disorot adalah Prabowo Subianto. Mantan Danjen Kopassus ini diduga kuat terlibat dalam penghilangan paksa 13 aktivis dalam kapasitasnya sebagai komandan Kopassus kala itu. Sedangkan Mayjen (Purn) Kivlan Zen belum lama ini menyatakan mengetahui dimana 13 orang hilang itu ditembak dan dikuburkan.


Urusan rekam jejak ini jika terus diungkit tak akan pernah ada ujungnya meski yang bersangkutan sudah berada dalam kubur sekalipun. Mereka yang jadi objek eksploitasi rekam jejak buruk itu pasti tak cuma tinggal diam. Mereka akan melakukan hal yang sama, membalas dengan menggali berbagai informasi rekam jejak pihak yang melakukan serangan baik secara langsung maupun dengan menggunakan tangan orang lain.

Agar permasalahan mengenai persyaratan dan kriteria seorang pemimpin maupun pejabat publik di negeri ini menjadi sederhana, maka sangat diperlukan semacam acuan baku secara tertulis dan sah yang dituangkan menjadi semacam peraturan tersendiri. Misalkan saja Negara membikin Undang Undang Capres dan Cawapres, yang mana memuat poin-poin sebagai berikut;

(1) Seorang Capres atau Cawapres tidak pernah dipecat dari pekerjaan atau profesinya.
(2) Tidak sedang tersangkut proses atau masalah hukum.
(3) Tidak sedang dalam penyelidikan dan penyidikan hukum.
(4) Berusia diantara 40 hingga 60 tahun.
(5) Menikah dan memiliki istri yang sah berdasar UU Perkawinan.
(6) Tidak cacat fisik dan mental.
(7) Tidak berkaca mata baik plus maupun minus.
(8) Fasih berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
(9) Minimal menguasai bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan.
(10) Khatam baca Alquran (bagi yang beragama Islam).
(11) Tak pernah dipenjara terkait tindak pidana (terkecuali terkait politik).
(12) Hapal lagu kebangsaan (national anthem) dan Pancasila.
(13) Tidak memiliki tato di tubuh.
(14) Tidak ada bekas tindik di telinga, di hidung dan bagian tubuh lainnya (bagi pria).
(15) Memiliki SIM C dan A atas namanya sendiri.
(16) Tidak pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa manapun.
(17) Pendidikan minimal Strata Satu (S-1) dari jurusan apa saja.
(18) Punya akun Twitter dan Facebook atas nama asli yang dikelola sendiri.
(19) Hal-hal lain yang masih diperlukan dan tak tercantum disini, akan dimasukkan ke lembaran addendum.


Berhubung seorang Capres maupun Cawapres itu merupakan bakal memimpin negeri, maka mereka mesti orang-orang terbaik. Logikanya jika seorang karyawan sebuah perusahaan saja dikenakan berbagai persyaratan yang cukup banyak, maka seorang Capres ataupun Cawapres mesti lebih banyak lagi persyaratan yang diberlakukan. Jika kelak mereka terpilih sebagai pasangan Presiden dan Wapres, mereka akan memimpin dan mengendalikan ratusan juta rakyat yang bisa diibaratkan sebuah perusahaan yang sangat besar.
Dan jika ada acuan baku yang jelas terhadap persyaratan dan kriteria Capres dan Cawapres, maka tak perlu ada lagi beredar info rekam jejak yang buruk. Jika bisa dibuat mudah kenapa mesti dipersulit.


Sumber : Republika


Enaknya Ulama Kini


“Enak juga jadi Ulama jaman sekarang,” cetus Mat Himpal yang sedang nongkrong minum kopi di kedai Bu Ardi.

“Enaknya apa ?” tanya Tuh Kangkung yang sedang menikmati mie goreng instant.

“Enaknya pada saat menjelang Pemilu, Pilpres, Pilkada, dan Pilkades. Para Calon yang ingin meraih kekuasaan ramai-ramai bertamu dan minta dukungan Ulama,” ungkap Mat Himpal.

“Kalau cuma datang bertamu dan minta dukungan saja apa enaknya,” sahut Tuh Kangkung mendelik.

“Tentu saja mereka tak sekedar datang bertamu dan minta dukungan saja. Paling tidak bawa gula, kopi, teh, dan sebagainya,” ujar Mat Himpal tampak jengkel terhadap tanggapan Tuh Kangkung.

“Kalau cuma bawa itu saja, juga tak ada enaknya,” sahut Tuh Kangkung pula acuh.

“Ah kamu, dasar otak telmi, telat mikir. Tentu saja bukan sekedar itu bawaannya, tapi juga bawa ‘angpao’ sebagai hadiah supaya dapat dukungan,” ujar Mat Himpal dengan sangat kesalnya.

Menurut Mat Himpal, memang sudah jadi semacam budaya di negeri ini; merangkul para tokoh agama dan tokoh lainnya yang dianggap kharismatik serta memiliki massa pengikut yang fanatik, yang taat pada titah tokoh tersebut.

“Ulama yang mau ‘dibayar’ untuk dukung-dukungan seperti itu tak layak memimpin umat,” cetus Tuh Kangkung bersemangat.

“Betul, aku setuju pendapatmu. Ulama itu tak perlu ikut urusan politik dan kekuasaan. Tugas Ulama itu mengurus akhlak dan iman umat, bukan menjadikan umat sebagai tameng untuk kepentingan pribadi,” tambah Mat Himpal.

“Sudah bukan rahasia; Ulama sekarang kan banyak yang punya label. Ada Ulama yang berlabel merah, kuning, hijau, biru, dan lainnya seperti warna pelangi, atau seperti balon yang warna warni,” kata Tuh Kangkung beribarat.

“Hati-hati saja dengan warna hijau; tabung gas LPG warna hijau sering meledak, dan balon yang suka meletus juga berwarna hijau,” sahut Mat Himpal sembari tertawa gelak.


Kenapa Mesti Pakai F, X, Z, Q, Sh, Sy, Kh dan Nk ?


Sudah sejak lama Mat Himpal selalu menemukan tulisan Provinsi, padahal dulu ditulis Propinsi. Begitupun tulisan lainnya yang mengandung unsur abjad P dan F.

Pada sebuah kesempatan nongkrong di kedai Bu Ardi, Mat Himpal menumpahkan kekesalannya terhadap perubahan penulisan beberapa kata dalam bahasa Indonesia. Kekesalan itu ia tumpahkan ke Tuh Kangkung.

“Tak usah terlalu dipikirkan, kalau dibaca oleh kebanyakan orang Indonesia tetap saja yang terdengar bunyi abjad P,” timpal Tuh Kangkung.

“Aku kesal saja. Bahasa Indonesia itu tidak konsisten dalam penulisan dan perkataan,” ujar Mat Himpal sambil menggaruk kepala persis seekor monyet Bekantan.

Mat Himpal pun bicara banyak ke Tuh Kangkung perihal beberapa tulisan yang mengganggu pikirannya. Mat Himpal menyebut kata; aktivitas yang kini ditulis aktifitas, aktiva menjadi aktifa.

“Kenapa sih abjad dalam bahasa Indonesia tak dibuat sederhana saja, misalnya abjad yang bunyi lapalnya mirip seperti P, F, dan V disatukan menjadi P saja,” ujar Mat Himpal uring-uringan.

Ia pun mencontohkan beberapa kata seperti sesuai keinginannya; televisi menjadi telepisi, fitnah = pitnah, foto = poto, Fantasi = pantasi, verbal = perbal, aktif = aktip, aktivitas/aktifitas = aktipitas, sifat = sipat, dan sebagainya.

“Itu maunya kamu, maunya para pakar bahasa jelas berbeda,” sahut Tuh Kangkung.

“Sudah jelas itu, mereka kan pakar, tapi paling tidak kita bisa menyederhanakan abjad yang dipakai dalam bahasa Indonesia,” ujar Mat Himpal membela diri.

Mat Himpal pun kembali menyebut beberapa kata serapan dari bahasa mancanegara misal; shalat sebaiknya ditulis saja solat, Allah = Alloh, izin = ijin, zaman = jaman, zakat = jakat, syarat = sarat, bank = beng, tank = teng, tanker = tengker, charter = carter, tekhnik = tehnik atau teknik, akhir = ahir, qari = kori, qariah = koriah, quran = kuran, dan seterusnya.

Menurut Mat Himpal dengan demikian maka penulisan kata dalam bahasa Indonesia tak ada lagi abjad konsonan; F, V, X, Z, Q, Sh, Sy, Kh, dan Nk.

“Kalau misal ingin menggunakan istilah asing, tulis saja sesuai tulisan aslinya dengan arti/maknanya dalam kurung,” tambah Mat Himpal.

Ini usulan Mat Himpal untuk bahasa Indonesia, yang meski mengikut perkembangan jaman tapi tetap punya ciri tersendiri.


Stigma PKI, Hebatnya Indoktrinisasi Orde Baru

courtesy : wikipedia


Karena ingin berbeda dari kebanyakan temannya, Mat Himpal nyaris saja masuk bui tanpa peradilan yang jelas.

Kisah ini merupakan pengalaman pribadi Mat Himpal terjadi puluhan tahun lalu di era rejim Orde Baru berkuasa. Diceritakan kembali oleh Mat Himpal kepada Tuh Kangkung pada kesempatan nongkrong sore di kedai milik Bu Ardi.

“Hampir saja aku masuk bui andai jawabanku tak memiliki alasan tepat waktu itu,” Mat Himpal memulai kisahnya seraya menyalakan sebatang rokok.

“Kok bisa begitu, memangnya kesalahanmu apa ?” tanya Tuh Kangkung sembari pula tangannya meraih kotak rokok milik Mat Himpal yang berada di atas meja, biasa, rokok cap min alias minta, hehe……

“Waktu itu aku masih duduk di SMA di tahun 1980-an. Aku bersama 2 temanku menyewa sebuah rumah kontrakan. Orangtua kami berada di kampung lain,” Mat Himpal seperti sedang menerawang kembali ke masa silam menembus lorong waktu.

Seperti kebanyakan remaja seusia Mat Himpal pada masa itu, mereka suka menghiasi atau memajang poster foto artis maupun olahragawan di dinding kamar rumah sendiri maupun rumah kontrakan mereka, yang jelas bukan di dinding mushala, surau atau mesjid.
Namun tak semua remaja begitu. Mat Himpal termasuk diantara remaja yang suka berbeda, tak tertarik memasang poster foto artis, olahragawan, entahlah foto artis yang mengenakan busana belum rampung atau kurang bahan, hiks, hiks…..


Untuk itu Mat Himpal berencana menghiasi rumah kontrakan mereka dengan bendera beberapa negara. Ide itu ia sampaikan ke dua temannya, kebetulan keduanya pun setuju ide tersebut. Maka mulailah Mat Himpal mencari kertas hiasan berwarna yang biasa digunakan untuk dekorasi pernikahan atau kawinan. Mereka akan membuat bendera dari kertas hias. Bendera tersebut tidak saja akan menghiasi kamar tidur, tapi juga ruang tamu yang jika jendelanya dibuka akan tampak dari jalan umum yang cukup ramai.

Bendera yang pertama mereka bikin adalah bendera United Nations (PBB, Perserikatan Bangsa Bangsa). Bendera berikutnya adalah milik 5 negara yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB; USA, USSR (Rusia), RRT, Inggris dan Prancis, yang biasa disebut The Big Five. Semua bendera tersebut mereka pajang di dinding ruang tamu dengan bendera PBB berada di tengah-tengah.

Nah, urusan pajang bendera inilah yang membuat masalah bagi Mat Himpal bersama temannya. Apa hal ?
Rupanya salah satu bendera yang dipajang tersebut menjadi perhatian diantara orang-orang yang berlalu lalang di depan rumah kontrakan mereka. Bendera yang bikin masalah itu adalah bendera USSR yang berlambang palu dan arit. Tahu sendiri pada era itu, palu dan arit identik dengan Parpol yang dilarang oleh Pemerintah; PKI (Partai Komunis Indonesia).


Agaknya ada orang yang melapor perihal bendera berlambang palu dan arit itu ke Kepala Desa. Tak ayal Kepala Desa dengan ditemani seorang anggota Polsek mendatangi Mat Himpal dan temannya di rumah kontrakan mereka.

“Saya mau tanya apa maksud kalian memajang lambang PKI itu ?” tanya Kepala Desa dengan suara berat dan serak, sementara anggota Polsek mengamati bendera yang dipajang di dinding ruang tamu.

“Kami tak ada memasang lambang yang dimaksud,” jawab Mat Himpal agak gugup.

“Itu buktinya terpajang di dinding,” tunjuk Kepala Desa.

Bagaimana pun Mat Himpal dibantu temannya menjelaskan bukan lambang PKI tapi bendera salah satu negara, Kepala Desa bergeming tak mau tahu.

“Ini buku atlas, kami menirunya dari sini,” Mat Himpal menunjukkan buku atlas peta dunia dimana juga terdapat bendera dari negara di seluruh dunia.

Kepala Desa mengambil buku atlas dari tangan Mat Himpal, membolak balik halaman demi halaman, serta nengamati seluruh bendera. Anggota Polsek yang bersamanya juga melakukan hal yang sama. Akhirnya, “sudahlah. Lebih baik kalian lepas saja bendera tersebut daripada menuai masalah nantinya. Kami berdua cukup mengerti, namun belum tentu aparat lainnya mau mengerti, apalagi yang dari Koramil.”
Kepala Desa menganjurkan Mat Himpal agar melepas bendera yang berlambang palu dan arit itu.
“Baiklah kalau begitu kami mengikuti saran bapak,” ujar Mat Himpal mewakili kedua temannya.


“Kalau saja pak Kepala Desa bukan membawa anggota Polsek, tapi anggota Koramil, kamu sama kedua temanmu itu bisa-bisa dimasukkan tahanan tanpa proses,” timpal Tuh Kangkung menanggapi kisah Mat Himpal.

“Itulah untungnya pak Kepala Desa mau mengerti dan bersikap arif. Masih untung kalau cuma ditahan, tidak di-dor lalu dikarungi,” ujar Mat Himpal bergidik membayangkan.

“Indoktrinisasi rejim Orde Baru terhadap warga terkait PKI memang sangat hebat. Mereka berhasil melekatkan stigma PKI itu berbahaya dan kejam di benak rakyat negeri ini,” kata Tuh Kangkung.

“Dan hebatnya stigma tersebut masih terus melekat hingga kini pada sebagian besar rakyat, meski di era reformasi ini semua warga negara diperlakukan hak dan kewajibannya sama tak memandang apakah orangtuanya dulu terlibat ataupun pendukung serta simpatisan PKI yang datanya terdaftar di arsip instansi pemerintah,” ujar Mat Himpal yang kemudian menghabiskan kopi hitamnya.

Lupakan Ego, Belajar Dari Torres


Jose Mourinho berteriak-teriak sambil menepuk dadanya seusai Chelsea mengalahkan Liverpool di ajang Premier League atau Liga Inggris. Entah apa yang diteriakkan si Special One itu, entah ia berteriak dalam bahasa ibunya, Porto, ataukah dalam bahasanya Ratu Elizabeth, aku tak tahu, karena aku cuma bisa melihatnya melalui layar kaca.

Sebagai penggemar Chelsea, aku sudah bersiap-siap di depan telepisi beberapa menit sebelum pertandingan dimulai. Aku tak ingin kehilangan momen sedikit pun menyaksikan para pemain Chelsea beraksi; Demba Ba, Mohamed Salah, Willian, Fernando Torres, Andre Schurrle, dan lainnya.

Skuad Chelsea datang ke Stadion Anfield kandang Liverpool sebagai tim tamu beberapa hari lalu. 2 gol cukup membuat para pendukung tim tuan rumah tertunduk lesu. Dimulai dari gol Demba Ba di menit-menit akhir babak pertama. Demba Ba mengambil bola dari penguasaan Steven Gerrard yang terjatuh setelah menerima operan dari rekannya. Si Hitam Ba berlari kencang menggiring bola ke arah gawang, meski Gerrard berusaha mengejar, kalah cepat, gol……..Demba Ba sujud syukur sebagai bentuk selebrasinya usai membobol gawang lawan.

Tim tuan rumah tambah tertinggal di babak kedua. Masuknya Fernando Torres sebagai pemain pengganti, membuahkan hasil. Gol kedua tercipta atas assist yang diberikannya kepada Willian. Torres berhasil membawa bola dari area pertahanan Chelsea melewati para pemain Liverpool. Willian berlari mengiringi Torres di sisi kanan. Mereka berdua tinggal berhadapan dengan kiper Liverpool.
Semula aku mengira Torres akan menembakkan bola ke gawang lawan, tapi perkiraanku salah, ia mengopernya ke Willian yang dengan santainya memasukkan bola.
Ini yang membuatku salut terhadap Torres. Dia melupakan egonya sebagai seorang pemain yang cukup terkenal. Torres benar-benar profesional, berkerja secara tim untuk kemenangan klubnya. Padahal bisa saja ia sendiri yang melakukan tembakan ke gawang Liverpool dengan mengabaikan Willian. Selamat buat Chelsea dan Special One, Mou.



Beringin Tak Mau Tunduk ke Banteng

Sore itu Amat Himpal sedang menikmati segelas kopi hitam kesukaannya di kedai minum milik Bu Ardi. Angin bertiup sepoi-sepoi, segar, apalagi sebelum ke kedai Amat Himpal sudah mandi. Kedai Bu Ardi jadi tempat mangkal favorit Amat Himpal bersama teman-temannya. Selain tempatnya cukup lega, bersih, juga Bu Ardi orangnya baik; mau terima bon dulu untuk keperluan minum, makan serta rokok untuk Amat Himpal dan teman lainnya.

Seperti sudah berjanji, tak lama Amat Himpal nongkrong di kedai, Utuh Kangkung pun datang menyusul. Mereka berdua ini sudah layaknya seperti alat berat Grader dengan Steamwall (compactor) yang tak terpisahkan saat bikin jalan.
“Sudah mandi kelihatannya nih, rapi begitu,” tegur Utuh Kangkung ke Amat Himpal yang sedang asyik mengisap rokoknya.
“Ya iyalah. Paling-paling kamu saja yang belum mandi,” ledek Amat Himpal sembari terkekeh.
“Sembarangan kamu. Jaga mulutmu yang penuh asap itu,” balas Utuh Kangkung lalu duduk bersampingan dengan Amat Himpal.
“Ada kabar apa nih selain kabar tentang pencarian kangkung yang tak kunjung padam ?” tanya Amat Himpal sambil senyum-senyum.
“Kali ini bukan kabar tentang kangkung makanan kesukaanmu itu,” sahut Utuh balas terkekeh.
“Sialan ! Kau kira aku sejenis marmut,” sahut Amat kesal.
Pembicaraan keduanya terhenti karena Utuh Kangkung memesan segelas kopi hitam pula ke Bu Ardi. Dan sudah kebiasaan Utuh Kangkung yang suka sekali dengan rokok cap min alias minta, rokok Amat lah yang jadi targetnya.
“Kali ini aku bawa kabar serius, tentang Pemilu 2014 di kampung kita ini,” Utuh menyambung bicara dengan wajah benar-benar serius.
“Hebatnya apa kabarmu tentang Pemilu yang tiap saat sudah banyak diberitakan di berbagai media massa ?” tanya Amat meremehkan.
“Jangan salah bro, kabarku ini sangat berbeda dari berita di media itu,” sahut Utuh meyakinkan.
“Oke kalau begitu, lanjutkan. Aku kali ini jadi pendengarmu yang terbaik di dunia,” ujar Amat yang kemudian kembali menyalakan sebatang rokok dan menghirup kopi hitamnya.
Nah, begini kabar yang dibawa Utuh Kangkung, silakan para pemirsa sekalian menyimak.
Seorang Caleg untuk DPRD Kabupaten, sebut saja namanya H. Rudi, telah mengeluarkan dana tak kurang Rp 2 milyar untuk bisa terpilih. Dengan dana sebesar itu tadinya ia berharap dapat meraup suara pemilih setidaknya 4 ribuan. Disamping untuk memuluskannya duduk di kursi DPRD, juga untuk membantu raihan suara Parpol-nya, Banteng gemuk moncong putih. Tapi apa lacur, H. Rudi cuma mampu meraup suara sekitar 2.300. Untunglah dengan suara yang diperolehnya tersebut ia dipastikan duduk di kursi DPRD.
“Tapi raihan suara segitu tak sesuai dengan semua biaya yang kukeluarkan,” sungut H. Rudi.
“Wah, banyak sekali yang yang ia keluarkan,” ujar Amat.
“Yah begitulah, risiko jika bermain politik uang,” sahut Utuh.
“Terus bagaimana kelanjutannya ?” tanya Amat penasaran.
Utuh Kangkung meneruskan kabarnya.
H. Rudi yang merupakan petahana anggota DPRD itu merasa sudah ditipu oleh para orang yang menjadi tim suksesnya. Untuk meraup suara pemilih, H. Rudi membekali tiap anggota tim suksesnya rata-rata Rp 50 juta untuk melakukan serangan malam, serangan fajar, dan serangan pagi.
“Dasar pengkhianat !” H. Rudi mengumpat geram setelah mengetahui perolehan suaranya.
“Masih untung dia dapat kembali duduk. Dan tim suksesnya pun benar-benar sukses, ya sukses menipu H. Rudi,” Amat Himpal tergelak.
“Itu risiko. Masih mau mendengar kabar lainnya tidak ?” tanya Utuh Himpal sembari meneguk kopinya dan kembali minta rokok Amat Himpal.
“Mau, mau, mau,” sahut Amat dengan mimik lucu menirukan tokoh Upin.
Kali ini Utuh Kangkung melanjutkan tentang seorang Caleg petahana pula. Caleg itu, sebut saja namanya Rahman. Untuk bisa kembali duduk di DPRD Kabupaten, ia melego sebuah rumahnya yang masih belum rampung. Rumah tersebut ia jual laku sebesar Rp 400 juta untuk modal politik. Itu pun masih kurang. Rahman masih merogoh dari simpanannya tak kurang Rp 100 juta. Ia benar-benar berjudi (gambling), untunglah perolehan suaranya cukup untuk mengantarnya kembali ke tempat duduknya semula.
“Hebat, nekat, dan untung. Padahal beberapa petahana yang lain bukannya lulus tapi lolos,” ujar Amat Himpal tertawa kecut.
“Nah, kabar yang satu ini cukup unik,” ujar Utuh Kangkung sengaja membuat Amat Himpal penasaran.
“Tak usah bikin penasaran, cepat lanjutkan bila ingin kopimu aku yang bayar,” kata Amat Himpal berlagak mengancam.
Caleg ini sudah dua Pemilu gagal tembus. Kali ini ia yang bernaung di bawah Parpol berlambang pohon beringin ini, berhasil tembus. Namun anehnya, setelah mengetahui hasil perolehan suara Parpol-nya keseluruhan tingkat kabupaten, yang mana Parpol-nya cuma berhasil meraih 3 kursi, Caleg yang sebut saja namanya Marwan ini, jadi patah arang. Dia bermaksud menyerahkan kursi perolehannya kepada rekannya yang perolehan suaranya berada di bawahnya.
“Kok dia bisa patah arang seperti itu. Mungkin karena dia tak bisa bangun pagi. Setahuku si Marwan itu kan semacam Batman, manusia kalong yang berkerja malam hari tidur menjelang pagi,” ujar Amat Himpal heran.
“Memangnya kamu kenal sama dia ?” tanya Utuh Kangkung juga tampak heran.
“Tentu saja aku kenal dia. Sebagian besar orang di kampung ini kenal dia kok. Dia itu terkenal berangasan dan kasar terhadap orang,” ungkap Amat Himpal.
“Tapi bukan karena itu ia patah arang. Menurut sumber yang bisa dipercaya, si Marwan itu tidak mau dipimpin oleh orang-orang dari Parpol Banteng yang meraih 10 kursi dari 35 yang disediakan,” Utuh Kangkung bergaya seperti seorang presenter pembaca berita.
Amat Himpal : ?!#*%^¥£€

Kurang Tenar, Tak Kampanye Tapi Lolos ke Senayan

courtesy : antara
Nama tenar saja tak cukup mengantar seseorang untuk meraih sukses terpilih sebagai Wakil Rakyat (Legislator) dan Anggota DPD (Senator) pada Pileg 2014 lalu. Tak sedikit nama tenar atau publik figur baik yang berada di tingkat pusat maupun di daerah yang gagal melenggang ke gedung legislator maupun senator. Penyebabnya tentu bermacam-macam, yang paling logis adalah rakyat sudah bosan dan tak percaya terhadap mereka.
Namun diantara hiruk pikuk Pileg 2014 yang masih menyisakan beberapa hal, antara lain isu money politic dan penggelembungan (mark up) suara oleh Parpol tertentu, kita patut berpaling kepada seorang Calon Senator yang mewakili wilayah Propinsi Jawa Barat.
Bagi para pengamat dunia hiburan di tanah air terutama komedi, kemungkinan sedikit yang mengetahui nama Oni Suwarman atau Oni SOS. Pria yang selalu berpenampilan dan berbicara layaknya tokoh legenda Sunda, Kabayan ini mulai dikenal di jagat hiburan Indonesia setelah keluar sebagai pemenang, juara pertama di Ajang Audisi Pelawak Indonesia (API) pada 2005 di TPI yang kini berlabel MNC TV. Itu pun Oni tidak sendiri, tapi bersama 2 rekannya; Sule dan Oding.
Pada perjalanan selanjutnya ketiga anggota grup SOS yang merupakan singkatan dari Suwarman (Oni), Oding, dan Sule (Entis Sutisna) ini, hanya Sule yang begitu fenomenal dan sangat eksis di dunia hiburan. Adapun Oni dan Oding nyaris tak terdengar kiprahnya kebih-lebih Oding.
Oni Suwarman yang beruntung masih sempat muncul di beberapa acara tayangan telepisi, namanya kini mencuat di berbagai media massa. Bukan karena ia mendapat kesempatan dan rejeki seperti Sule, tapi karena ia maju sebagai Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Propinsi Jawa Barat.
Pada Pileg 2014 ini, Oni Suwarman memperoleh 2.167.485 suara, perolehan suara terbanyak diantara semua Calon di wilayah Propinsi Jawa Barat. Oni dipastikan lolos melenggang ke Senayan bersama Eni Sumarni (2.041.830 suara), Aceng Fikri, Mantan Bupati Garut (1.139.556 suara), dan Ayi Hambali (1.032.465 suara). (sumber Okezone)
Di kalangan para selebriti maupun pegiat hiburan di tanah air ini, nama Oni sudah jelas berada jauh di bawah rekannya sendiri, Sule. Juga tak bisa bersanding dengan nama-nama seperti Andre (mantan personil grup Band Stinky), Tukul Arwana, Olga, Raffi Ahmad, Parto, dan lainnya. Tapi kita tentu ingat Andre yang kalah pada Pilkada di Tangerang Selatan pada 2010. Andre berpasangan dengan Arsid, maju sebagai Calon Wakil Walikota, dikalahkan oleh pasangan Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie (sumber tribun news). Padahal Andre tidak saja dikenal kini sebagai seorang komedian yang eksis tampil tiap hari di layar kaca, namun sebelumnya sudah tenar sebagai seorang penyanyi, vokalis di grup Band Stinky yang beberapa lagunya sempat di hit di blantika musik Indonesia. Jadi, nama tenar saja tidak cukup.
Yang patut jadi catatan dari keberhasilan Oni ini adalah, ia tak seperti Calon lainnya yang gencar berkampanye, bahkan menyebar duit ke para calon pemilih (sumber tribun news). Nah, jika berminat melenggang ke Senayan pada 2019 nanti, patut belajar ke Oni.


Mantan Antek Orba itu Mendominasi Kalsel

Rakyat negeri ini tampaknya memang sulit melawan lupa. Tidaklah terlalu salah jika banyak yang berkata; rakyat Indonesia adalah pemaaf dan sulit melawan lupa. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh rakyat Indonesia yang berada di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan.
Dulu di era rejim Orde Baru, tak sedikit dari warga Kalimantan Selatan (Tanah Banjar) yang tak suka terhadap Golongan Karya (Golkar, tanpa embel-embel Partai) jika tak ingin disebut benci. Parpol Mantan “kaki tangan” rejim Orde Baru ini dianggap turut andil dalam pemerintahan yang berjalan represif serta membelenggu kebebasan dan HAM.
Parpol yang menjadi anak emas Orde Baru itu tak berganti nama maupun istilahnya ganti merk maupun baju, cuma menambah nama menjadi Partai Golkar dengan masih banyak orang-orang dulu yang bercokol didalamnya.
Pada Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2014 ini, Partai Golkar Kalimantan Selatan justru mendominasi perolehan kursi legislatif di DPRD Propinsi. Partai Golkar meraih 13 kursi di DPRD Propinsi Kalimantan Selatan, sementara untuk DPR RI mendudukkan 2 kadernya.
Adapun Parpol lainnya berada jauh di bawah perolehan kursi Partai Golkar di DPRD Propinsi Kalimantan Selatan, antara lain; Partai Nasdem 4 kursi, PKB 6 kursi, PKS 4 kursi, PDIP 8 kursi, Partai Gerindra 6 kursi, Partai Demokrat 4 kursi, PAN 1 kursi, PPP 7 kursi, dan Partai Hanura 2 kursi.
Jika melihat kondisi demikian, rakyat negeri ini bisa dibilang mudah membenci sesuatu, cepat melupakan kebencian, lalu memaafkannya begitu saja, kalaupun tetap benci tak ubahnya seperti judul sebuah lagu yang hit dinyanyikan Mendiang Diana Nasution; benci tapi rindu.
Bukan hal mustahil di Pemilu mendatang Parpol seperti Partai Demokrat yang kadernya banyak dimunculkan sebagai pelaku korupsi, akan kembali berjaya dan kembali mendapat simpati dan dukungan rakyat.
“Kau datang dan pergi sesuka hatimu, oh kejamnya dikau, teganya dikau padaku…..
Sakitnya hati ini, sayang……namun hati rindu…..
Bencinya hati ini, sayang, namun aku rindu…..


Keturunan Muhammad bin Abdullah, Adakah ?


Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS: Al-Ahzab Ayat: 40)

Tafsir dari ayat Alqur’an di atas secara gamblang dan jelas menyatakan tentang Muhammad SAW yang bukan bapak atau ayah dari seorang lelaki. Ini artinya Muhammad SAW, sebagai seorang manusia biasa; bukanlah seorang yang menurunkan keturunan langsung secara patrilineal, garis keturunan dari pihak bapak atau ayah.

Keterangan beberapa catatan sejarah; dari 12 wanita yang dinikahi Muhammad SAW, hanya Khadijah binti Khuwalid dan Mariatul Qibtiyah yang memberi keturunan. Pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah dikaruniai 7 anak, diantaranya 3 putra; Al Qasim, Abdullah, dan Tayyib yang meninggal dunia sewaktu masih kecil dan 4 putri; Zainab, Ruqayyah, Ummi Kaltsum, dan Fatimah. Sedangkan dari pernikahan beliau dengan Mariatul Qibtiyah dikarunia seorang anak bernama Ibrahim yang meninggal sewaktu masih kecil (18 bulan). Dengan demikian tak seorang pun dari keempat putra (anak lelaki) beliau yang sempat menikah dan menurunkan keturunan.

Adapun Zainab binti Muhammad, putri sulung Beliau dipersunting oleh Abul Ash bin Rabi’. Ruqayyah binti Muhammad sebelumnya dinikahi oleh Utbah bin Abu Lahab, bercerai, kemudian dipersunting oleh Sahabat Utsman bin Affan. Ruqayyah wafat, lalu Utsman mempersunting adik Ruqayyah, yakni Ummi Kaltsum binti Muhammad. Putri bungsu Beliau adalah Fatimah binti Muhammad dipersunting oleh Sahabat Ali bin Abu Thalib yang tak lain sepupu Beliau sendiri, atau paman dari Fatimah.

Islam sebagai agama sekaligus pedoman hidup bagi para pemeluknya menggunakan garis keturunan secara patrilineal atau dari garis bapak atau ayah. Maka sangat jelas Muhammad SAW tak memiliki keturunan yang digariskan dari pihak lelaki. Ini kemudian diperjelas oleh Allah SWT dalam Alqur’an pada Surah Al Ahzab ayat 40 di atas.

Sangatlah mengherankan bila hingga kini masih banyak orang yang mengklaim sebagai keturunan Muhammad SAW, yang mengeksklusifkan diri mereka dengan sebutan atau gelar tertentu. Bahkan kelompok tersebut menganggap diri mereka memiliki derajat lebih tinggi dari siapapun. Mereka berlindung dibalik argumen bahwa Fatimah binti Muhammad merupakan pengganti sebagai anak lelaki (putra) Muhammad SAW.


Bahasa Banjar; Ba-intarnitan wan Punsil Andruit



Hari masih sakira jam sambilanan, matahari baluman panas banar, angin batiup ilun haja tagal tarasa jua dungin di awak. Jam sa’ini Amat Himpal (disambat Amat Himpal sabab rancak himpal duit maraga kawan) sudah mancungkung duduk di warung bini Ardi. Di hadapan Amat Himpal ta’andak kupi hirang (wayah naya kupi ada jua nang bakalir putih). Kukus banyu kupi masih talihat ma’ambul, saparapat cangkir sudah ditaguk Amat. Sambilan sasakali managuk kupi, Amat naya maisap ruku, kukusnya ma’ambul ditiup angin. Parasaan sugih banar sudah Amat amun kaya naya.

Kada sabarapa lawas bacungul Utuh Kangkung (naya tukang cari wan bajual kangkung), kawal Amat Himpal. Utuh Kangkung talihat barubusan pinanya kada sing mandian turun pada rumah. Rambut haja Utuh naya masih takusasai kada sing suruyan, bakas tahi mata gin ai masih baluman barasih banar.

“Ai lah, sudah badahulu mancungkung disini sa’isukan naya,” tagur Utuh Kangkung.
Amat Himpal pupura kada malihat wan mandangar Utuh managur, inya asik ma’ambul akan kukus ruku.
“Umai kada hihiran lalu kawan managur,” ujar Utuh balalu duduk kada jauh matan Amat.
“Ikam kah sakalinya nang managur aku, kukira tadi siapa, sangkaku kalu pina suara jin banar ai pina kada talihat ikungnya,” Amat Himpal balalu tatawa mangangkang.


Utuh kangkung bapasan banyu kupi hirang jua, batambah wan mi guring (inya kada bangun atawa bapuat). Pinanya tadi sabaluman turun rumah kada sampat sarapan.
“Sudah tahu lah siapa-siapa nang tapilih wan pacangan duduk di bangku DPRD kabupatin kita naya ?” Utuh mambuka pamandiran sambil manyambut cangkir kupi matan bini Ardi.
“Nangapa jua ikam maka tatakunan damintu ?” ujar Amat.
“Kada ai, parlu jua pang urang kaya kita naya tahu, sahibar tahu barang,” sahut Utuh.
“Aku tu tahu lawas sudah, bisa-bisa tadahulu aku tahu pada ikam pacangan siapa nang duduk di 35 bangku DPRD nintu,” Amat bapiragah panahunya indah kalah wan Utuh.
“Datang dimana ikam tahu maka tadahulu pada aku ?” takun Utuh sambilan maharu mi wan sinduk.
“Ikam naya pinanya katinggalan inpurmasi. Cuba bapintar jua kaya urang. Wayah naya jaman intarnit, kita kada parlu lagi musti ba’uyuh bacari kuran atawa surat kabar amun handak tahu habar barita,” Amat Himpal bahimat manjalas akan nang kaya urang nang ahli.
Utuh Kangkung cuma unggut-unggut kaya angui mandangar Amat manjalas akan.
“Ayuha amun kaya itu aku manuntung akan sarapan dahulu, kira sambung ba’asa pandiran kita,” ujar Utuh balalu manungap mi guring, salang Amat manjumput ruku pulang sabilah manyambung nang sudah inya timbai puntungnya.


Kada sa’apa lawas Utuh Kangkung sudah imbah manungap mi guring, mahirup ka banyu kupi, mariga imbahnya.
“Minta pang ruku ikam sabilah,” Utuh balalu manyurung tangan handak mambibit kutak ruku ampun Amat.
“Ambil ha situ saurang,” ujar Amat.
Pas banar sudah, parut kanyang, mariga, dapat ruku cap min alias minta. Utuh malikit ka ruku, ma’isap pina kanyamanan, kukusnya ma’ambul baputar-putar satumat lalu hilang ditiup angin.
“Dimapa am pandiran kita parigal intarnit tadi ?” takun Utuh bujuran handak tahu.
“Intarnit nintu kawa dipakai gasan apa haja tamasuk handak tahu habar barita,” Amat manyahut.
“Iya, maksutku dimapa caranya supaya kawa ba-intarnitan nintu,” ujar Utuh pina kisir-kisir.
“Nang jalas nintu ikam musti ba’isian punsil harat wan canggih, amun wayah naya urang manyambat punsil andruit. Punsil nintu ada jua nang harganya tamurah kada sampai sajuta,” Amat sumangat banar manjalas akan.
“Kaya nintu kah. Pacang barapa babat kangkung supaya aku kawa jua tatukar punsil harat nintu,” garunum Utuh.
“Nah, nintu maka am urusan ikam amun handak jua ba’isian,” sahut Amat.


Banyu kupi Amat Himpal sudah talah ditaguknya basisa dayadaknya haja. Inya bapasan pulang minta ulah akan nang hanyar. Banyu kupi Utuh talihat masih tasisa saparapat.
“Ikam pang wayah naya mamakai punsil andruit jua kah sudah ?” takun Utuh bakajutan.
Takirap Amat mandangar tatakunan Utuh nang kada inya sangka nintu. Balalu Amat mahahar kantung salawar, mangucik ma’ambil akan punsilnya.
“Naya punsilku. Aku sudah parak sabulanan naya mamakai punsil andruit,” ujar Amat balalu malihat akan punsilnya.
Utuh maniring punsil ampun Amat nang kadada lalu talihat picikannya kaya punsil biasa.
“Umpat manjapai pang bulih haja kalu ?” Utuh kapingin banar manjapai wan manjanaki punsil harat nintu.
Amat Himpal manjulung punsilnya gasan dijapai Utuh. Tiring kanan, tiring kiwa, atas bawah punsil, habis ditiring Utuh.
“Kada mangarti lalu aku mamakai punsil kaya naya,” ujar Utuh sambil ta’uling kapala balalu manjulung punsil ka ampunnya.


Parigal manjalas akan ka urang apa nang dikatahuwaninya, Amat Himpal naya bulih jua. Biar sakulah kada tapi ru’us Amat naya kada jua talalu bungul.
Inya manjalas akan cara mancari habar barita di intarnit mamakai punsil andruit ka Utuh.
“Pamula’an musti dicari dahulu barusir (browser), imbah nintu masuk akan alamat nang handak dituju, misal haja tulis atawa katik alamat www.jurnalisia.co, tunggu haja kaina inya kaluar saurang halaman habar baritanya disitu,” ujar Amat mancuntuh akan ka Utuh.
“Uh…damintu kah sakalinya, hibat banar lah……” Utuh ba’unggut tanda paham.
“Nyaman haja kalu, kada ngalih, kada parlu lagi bacarian kuran atawa surat kabar,” ujar Amat pina himung.
“Ayu ai amun kaya nintu aku handak jua manukar punsil kaya ampun ikam. Aku handak tulak bacari kangkung dahulu, tahuri akan makan wan minumanku,” Utuh bapuat balalu bajalan naninggal akan Amat.
“Akayah, aku pulang nang himpalnya, talalu…….,” Amat manggarunum.
Bini Ardi ampun warung cuma takurihing mandangar garunuman Amat Himpal.


Sisi Buruk Kisah Romeo dan Julia


Kisah Romeo dan Juliet merupakan kisah roman percintaan yang menjadi karya masterpiece dari William Shakespeare. Kisah ini sangat terkenal ke seantero dunia. Meski terdapat beberapa kisah yang mirip dengan ini seperti; Qais dan Laila dari kawasan Timur Tengah, Bandung Bondowoso dan Loro Jongrang dari Tanah Jawa, namun Kisah Romeo dan Juliet paling terkenal.

Karya masterpiece dari William Shakespeare ini telah sukses diadaptasi ke dalam beberapa bentuk karya seperti; drama, musikal, film, dan opera, bahkan syair lagu yang terinspirasi dari kisah tersebut.

Cerita tersebut berlatar belakang dari dua keluarga terpandang yang saling bermusuhan sejak lama. Romeo yang berasal dari Keluarga Montague mencintai Julia yang berasal dari Keluarga Capulet.
Mulanya Romeo jatuh hati kepada Rosaline yang berasal dari Keluarga Capulet. Pada sebuah pesta yang diadakan oleh Keluarga Capulet, dimana Romeo ikut hadir sebagai tamu tak diundang dengan menyamar, perhatian Romeo berpindah ke penampilan Julia yang sangat mempesonanya. Romeo jatuh cinta kepada Julia pada pandangan pertama. Menurut cerita Julia kala itu berumur 13 tahun, sedangkan Romeo berusia 15 tahun.


Baik Romeo maupun Julia saling mengagumi satu sama lain. Namun keduanya harus kecewa dikarenakan keluarga nereka saling bermusuhan. Kondisi keluarga mereka tersebut tak menghalangi keduanya untuk bersatu meski mendapat ancaman dan kekerasan dari keluarga masing-masing.

Dengan bantuan teman Romeo, yaitu Frater Lawrence, mereka menikah secara diam-diam. Sayangnya di tengah kebahagiaan tersebut, salah seorang sahabat Romeo meninggal ditangan sepupu Julia, Tybalt. Romeo yang awalnya tidak lagi menyimpan dendam untuk keluarga Capulet, akhirnya membalas dengan membunuh Tybalt.

Pembalasan dendam atas sahabatnya itu oleh Romeo memperbesar api permusuhan antara Capulet dan Montague. Ayah Julia yang tidak mengetahui pernikahan putrinya, memutuskan untuk menikahkan Julia dengan seorang pemuda bernama Paris.
Cinta yang ditentang oleh keluarganya membuat Julia putus asa. Ia pun berkonsultasi dan membuat rencana dengan Frater Lawrence.


Saran Frater Lawrence kepada Julia agar ia berpura-pura menyetujui pernikahan yang diatur ayahnya. Namun ketika pagi hari menjelang pernikahan, dia harus minum ramuan yang akan membuatnya tampak seperti sudah meninggal, karenanya ia dimasukkan ke dalam lemari besi penguburan Keluarga Capulet. Selanjutnya Frater pun akan mengirimkan Romeo untuk menyelamatkannya.

Romeo yang sudah menjadi suami Julia karena pernikahan diam-diam, mengetahui kabar istrinya telah meninggal dari orang lain tanpa mengetahui rencana yang telah diatur oleh Frater Lawrence dan Julia.
Hati Romeo pun hancur. Ia pun pergi untuk melihat Julia buat terakhir kalinya. Disana Romeo dihadang oleh Paris, mereka pun berduel yang mengakibatkan Paris terbunuh di tangan Romeo.


Menyaksikan tubuh Julia yang terbaring seperti mayat, Roneo menelan racun yang dibelinya lalu mati seketika.
Julia yang sebenarnya tidak mati pun terbangun dengan sebuah harapan kosong. Ia justru melihat tubuh suaminya yang sudah tak bernyawa. Merasa tak lagi memiliki harapan untuk hidup, Julia mengambil belati Romeo dan membunuh dirinya dengan benda tersebut.


Sebuah kisah percintaan yang sangat mengharu biru, menguras emosi, dan berakhir dengan tragis.

Terdapat beberapa hal yang tak pantas ditiru dari kisah percintaan antara Romeo dan Julia ini, antara lain;
-Percintaan kedua insan berlainan jenis tersebut tak ubahnya cinta monyet, cinta anak ingusan; pria berusia 15 tahun, wanitanya 13 tahun.
-Romeo yang sangat mudah berpindah ke lain hati disebabkan Julia lebih mempesona daripada Rosaline.
-Menikah secara ilegal, tanpa adanya persetujuan dari wali nikah, tanpa saksi-saksi kecuali Frater yang menikahkan mereka. Perilaku Frater Lawrence tersebut sangat tidak pantas ditiru oleh siapa saja yang berstatus tokoh agama.
-Romeo yang pendendam, dengan mudahnya membunuh; Tybalt dan Paris.
-Baik Romeo maupun Julia yang tak menggunakan nalar dan akal sehat; bunuh diri yang sangat dilarang oleh agama terutama agama dari rumpun Ibrahimik (Samawi).


Bagi remaja kalangan Islam, kisah percintaan antara Romeo dan Julia tersebut; sama sekali tak ada manfaat yang bisa dipetik, cuma menginspirasi tabiat dan perilaku buruk.